Catatan Seorang Bukan Demonstran

Artikel ini sudah lebih dulu terbit di Jurnal Akumassa dengan judul yang sama, “Catatan Seorang Bukan Demonstran“, pada tanggal 1 April 2012.

SAYA ADALAH SEORANG mahasiswa yang memang sedang melawan, tetapi saya bukan seorang ‘demonstran’. Saya adalah seorang warga yang mencair dalam massa, tetapi saya bukan ‘gerilyawan’ jalanan yang seringkali memunculkan kerusuhan.

***

LEBIH DARI DUA minggu yang lalu, saya membaca satu artikel berita di sebuah koran lokal Depok. Penulis berita tersebut menyebutkan bahwa berdasarkan keterangan dari Kepala Bidang Perencanaan Perekonomian dan Sosial Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Depok, sekitar enam puluh ribu warga Depok akan jatuh miskin jika harga BBM dinaikkan oleh Pemerintah.

Lebih-kurang satu minggu setelahnya, saya mengikuti sebuah diskusi publik yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia (UI). Diskusi itu masih membahas tentang data-data valid yang bisa menjadi landasan argumen untuk menentang kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM. Hampir sebagian besar mahasiswa yang mengikuti diskusi itu tidak setuju jika harga BBM naik, sejalan dengan analisa dari sosiolog UI, Thamrin Tomagola, yang ketika itu hadir sebagai pembicara: alasan Pemerintah menaikkan BBM tidak kuat. Menurutnya, ada tiga hal yang perlu dikaji ulang.

Thamrin Tomagola saat memaparkan analisanya di Diskusi Publik yang diadakan oleh BEM FISIP UI. Gambar diakses dari http://fisipers.tumblr.com/

Pertama, alasan kenaikan harga BBM karena untuk mengatasi APBN yang jeblok tidak masuk akal, dan rencana kebijakan itu merupakan satu langkah yang ‘kacamata kuda’. Padahal, masalah korupsi merupakan hal yang lebih tepat untuk dijadikan alasan kejeblokan anggaran negara tersebut. Kedua, kebijakan untuk menaikkan harga BBM itu dilakukan pada waktu yang tidak tepat, mengingat kesengsaraan masyarakat semakin menjadi-jadi karena kesalahan demi kesalahan yang dilakukan oleh Negara. Ketiga, yang menurut saya sangat penting, wacana kebijakan menaikkan harga BBM yang sudah digembor-gemborkan jauh sebelum keputusan itu ditetapkan, memunculkan berbagai spekulasi dan disinformasi di media-media sehingga memunculkan efek ‘panik pra kenaikan BBM’ di tingkat warga. Menjadi wajar kemudian, mengapa harga sembako sudah mahal duluan sebelum harga BBM resmi dinaikkan.

Melanjutkan wacana dalam diskusi itu, beberapa hari kemudian BEM FISIP UI menyelenggarakan pernyataan sikap untuk menolak kenaikan harga BBM dengan alasan-alasan yang telah mereka kaji sendiri, salah satunya dengan melakukan survei terhadap masyarakat tingkat bawah tentang kenaikan harga BBM. Hal yang paling utama mereka kedepankan adalah kenaikan harga BBM memiliki dampak sosiologis yang merugikan masyarakat. Alasan yang diberikan oleh Humas Pemerintah bahwa subsidi BBM umumnya hanya dinikmati oleh orang kaya yang memiliki kendaraan pribadi, seketika dipatahkan oleh fakta bahwa orang miskin pun, sekarang ini, dapat memiliki kendaraan pribadi dengan cara Kredit. Naiknya harga BBM bisa jadi malah merugikan warga masyarakat tingkat bawah yang menggantungkan usahanya pada penggunaan BBM sebagai sumber daya.

Keesokan harinya, saya mendengar kabar dari seorang teman di kampus, bahwa pada hari pelaksanaan rapat paripurna di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), massa aksi dari BEM se-UI akan turun ke jalan: menolak kenaikan harga BBM dan mengawal berjalannya rapat para pejabat.

Massa aksi Universitas Indonesia bersiap-siap berangkat demonstrasi.

Hari Kamis, 29 Maret 2012, malam hari, saya menyaksikan perkembangan berita di salah satu stasiun televisi swasta, TVOne. Berita tersebut mengabarkan bahwa aksi demonstrasi mahasiswa di kota-kota lain berlangsung secara brutal, sedangkan partai-partai politik yang menolak kenaikan harga BBM semakin banyak. Hanya tinggal 3 fraksi yang mendukung kenaikan harga BBM, yakni Partai Demokrat, PAN dan PKB. Saya masih ingat jelas bahwa di televisi itu terdapat tulisan yang mengatakan bahwa Aburizal Bakrie tidak setuju jika harga BBM dinaikkan. Hal ini kemudian memunculkan beragam dugaan dari saya sendiri dan juga teman-teman mahasiswa yang lain. Jelas, seperti yang sering dikeluhkan orang-orang di situs jejaring sosial, kisruh BBM telah menjadi celah politisasi dari para pelaku politik.

Dalam perjalanan pulang menuju Lenteng Agung, saya terlibat perbincangan dengan Drajat, teman saya, satu program studi Kriminologi Jurnalistik, di Departemen Kriminologi, FISIP UI. Kami menduga-duga kemungkinan yang bakal terjadi setelah melihat berita itu, yakni harga BBM tidak akan jadi naik. “Itu sudah pasti, suara SBY kalah, kan?!” ujar saya kepada Drajat.

“Ya, susah juga, lihat perkembangan aja!” kata Drajat. “Lu ikut turun, gak besok?”

“Turun yukgue mau lihat aksi demonya!”

***

SEORANG TEMAN SAYA, Jodi Afila Ryandra, mengirimkan sebuah pesan singkat melalui telepon seluler:

29-Mar-2012 09:59 pm
Lo turun zik? Proposalnya gimana tuh?

Jodi menanyakan mengapa saya turun. Umumnya teman-teman mengenal saya sebagai mahasiswa yang tidak cukup peduli dengan demonstrasi, dan lebih mementingkan tugas kuliah. Adalah wajar, jika dia menduga saya akan lebih mendahulukan mengurus proposal magang ketimbang berpanas-panas menuju gedung DPR. Akan tetapi, saya membalas pesannya seperti ini:

29-Mar-2012 10:41 pm
Y gue nitip. Kan dikumpulin doang kan?
Turun lah.. Ad bnyk yg perlu d bongkar.. bkn sdangkal mslh bbm aj, perilaku media jg.

Apa yang berkecamuk di kepala saya adalah ulah para pelaku media, yang sudah tidak lagi bebas dari pengaruh politik dan kepemilikan atau konglomerasi. Sejak awal, ketika saya membaca berita-berita di koran lokal Depok, saya sudah menduga bahwa pengaruh pemberitaan media memunculkan ketidakharmonisan di masyarakat terkait dengan isu teranyar, BBM.

Ketika saya dan seorang teman mahasiswi, Tyas Wardhani, memutuskan untuk mendatangi gedung DPR dengan maksud ingin melihat-lihat bagaimana berlangsungnya demonstrasi, saya membawa empat statement (kalau tidak tepat disebut sebagai kebenaran) di dalam kepala, yaitu (1) bagaimana pun alasan atau kilah pembenarannya, kenaikan harga BBM ternyata masih merugikan masyarakat tingkat bawah sebagaimana hasil kajian yang dilakukan oleh BEM FISIP UI; (2) suara fraksi di DPR lebih banyak yang menolak BBM (termasuk Golkar yang menjadi perhatian utama saya), tetapi justru memunculkan kecurigaan akan langkah-langkah yang bersifat politis; (3) mahasiswa yang baik tidak akan melakukan aksi brutal (dan saya ingin membuktikan hal itu); dan (4) media arus utama yang ‘dimiliki’ juga bertanggung jawab atas carut-marut BBM ini.

Entah mengapa, saya merasa empat hal itu baru bisa saya verifikasi jika ikut serta bergabung dengan para mahasiswa dan buruh yang melakukan aksi, bukan sekedar duduk di depan layar televisi menikmati sajian media yang sedikit diragukan, atau menyimak lini masa di jejaring sosial semacam twitter seraya menikmati mi rebus siap saji. Oleh sebab itu, saya yang bukan seorang demonstran, memutuskan untuk turun ke jalan.

***

Massa aksi dari UI mempersiapkan barisan dipandu oleh Ketua BEM FISIP UI, Muhammad Affin Bahtiar (memegang toa).

SAAT TIBA DI dekat gedung DPR, ketika saya dan Tyas menyiapkan kamera untuk mengambil gambar suasana demonstrasi, saya didatangi oleh seseorang yang mengaku wartawan dari media yang saya tak ingat namanya.

“Mas, koordinator lapangannya, ya?” Tanya wartawan itu.

“Oh, bukan!” saya segera menjawab. “Saya gak masuk rombongan.”

“Oh, pers juga, ya, Mas?”

“Ya, dari akumassa.”

“Oh, jumlah mahasiswa dari UI yang turun berapa, ya, Mas?” si wartawan bertanya kembali.

Saat mendengar pertanyaan itu, saya jadi berpikir, mengapa dia malah bertanya dengan sesama pers? Bukan kah lebih baik dia mencari koordinator lapangan tersebut dan menanyakannya langsung. Karena kesal, saya menjawab asal, “Ng… 500 orang mungkin, Bang!” Dan si wartawan itu mencatatnya di dalam buku saku yang dia bawa, kemudian berlalu.

Wartawan (kanan) yang bertanya kepada saya.

Saya, yang merasa sedikit bersalah, kemudian memverifikasi jawaban saya sendiri kepada Mizan, mahasiswa FISIP UI yang menjadi salah satu koordinator lapangan massa aksi UI. “Dari UI, yang turun 250 orang!” katanya. Ingin rasanya saya memberitahukan kepada si wartawan tersebut, tetapi batang hidungnya tak kelihatan lagi sejak mencatat jawaban dari saya. Apakah dia sudah melakukan verifikasi informasi dari saya? Saya pun tak tahu.

***

DI SEKITARAN GEDUNG, ada banyak elemen masyarakat. Mulai dari aktivis buruh dan mahasiswa hingga para pedagang dan pemulung jalanan; mulai dari pejabat, yang dengan mobil mewahnya, sibuk mondar-mandir di pintu gerbang bagian belakang hingga para warga yang hanya menonton, dan tentunya juga para wartawan.

Salah satu media yang sedang meliput.

Saya, Tyas dan rombongan gelombang kedua mahasiswa dari UI menaiki bus Kopaja dari Depok menuju gedung DPR, dan tiba di sana sekitar 45 menit setelah sholat Jum’at. Sementara mahasiswa UI membentuk barisan dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan mahasiswa dengan semangat, saya dan Tyas justru segera bergerak cepat menuju gerbang tempat para buruh yang berorasi sedari tadi. Kami mengabadikan semua yang terlihat menggunakan kamera yang dibawa. Saya menaruh perhatian pada para wartawan yang meliput, sedangkan Tyas menaruh perhatian pada peristiwa di lapangan yang menurut pendapatnya adalah unik, seperti pedagang gorengan yang banjir pembeli di tengah-tengah demonstrasi, para buruh yang bersantai sambil bercanda tawa di bawah terik matahari seraya mendengarkan orasi, hingga aksi-aksi brutal dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang mulai membakar ban dan melemparkannya ke halaman gedung DPR melalui pagar besi.

Ketika di tengah-tengah massa itu, saya melihat bahwa pagar-pagar pembatas jalan sudah banyak yang dirobohkan massa. Beberapa orang pemulung memungut sampah besi, mungkin akan dikilokan oleh mereka. Yang menarik, beberapa orator berseru, “Silakan ambil besi-besi itu! Itu uang kita. Itu hadiah dari kami, para massa aksi, untuk rakyat yang sengsara!”

Para demonstran merusak pagar pembatas jalan.

Kira-kira sudah berlalu 30 menit, ketika Tyas terlibat percakapan dengan beberapa orang yang sibuk mengoleskan semacam adonan berwarna putih-putih di muka mereka, tepatnya di bawah mata.

“Odol?” saya mendengar Tyas bertanya. “Buat apa?”

“Iya, supaya gak perih kalau kena gas air mata,” terang salah satu dari mereka.

Saya dan Tyas tertawa mendapatkan informasi baru yang menarik ini, lantas kembali memotret setiap kejadian yang tertangkap oleh mata.

Tyas ketika sedang mengambil gambar di tengah-tengah demonstrasi.

Orasi dari para orator yang memimpin rombongan terdengar sahut menyahut. Di gerbang bagian kiri, para buruh berteriak-teriak menyalahkan Pemerintah yang tidak peduli dengan kesejahteraan rakyat. Sesekali lagu-lagu yang bernuansa rakyat diputar dan para buruh menari-nari sembari mengibarkan bendera dan umbul-umbul pengenal organisasi atau serikat buruh mereka. Sementara itu, di gerbang bagian kanan, rombongan mahasiswa berorasi dengan cara mereka sendiri: menggunakan toa, membentuk barisan dengan pagar orang berbadan besar-besar, sesekali menyanyikan lagu totalitas perjuangan untuk menambah romantisasi para demonstran.

Akan tetapi ada yang mengganjal di dalam kepala saya: mengapa para demonstran mulai bersiap-siap melindungi wajah mereka dengan odol? Apakah akan rusuh lagi seperti demonstrasi yang berlangsung pada Hari Selasa, 27 Maret 2012?

Jam di ponsel saya menunjukkan pukul setengah empat sore, massa aksi semakin banyak, suasana semakin memanas. Sudah mulai terdengar provokasi-provokasi dari beberapa orang, menyerukan untuk merobohkan pagar gedung. Sepertinya, nyanyian dengan lirik “Hati-hati… hati-hati… hati-hati, provokasi!” tidak berefek sama sekali. Semakin kuat lagu itu dinyanyikan oleh rombongan demonstran, semakin kuat pula pagar-pagar besi itu dipukul oleh para demonstran dengan batu yang dipungut dari jalanan.

***

AKSI PARA DEMONSTRAN semakin brutal. Pukul empat sore, niat untuk merobohkan pagar-pagar besi yang menjulang tinggi itu bukan sekedar provokasi belaka. Para demonstran, tak tahu apakah mereka buruh atau mahasiswa, atau justru orang-orang bayaran, mulai melepas spanduk-spanduk yang tadinya dipasang di pagar gedung. Spanduk itu dipilin, kemudian disangkutkan ke pagar besi. Sekelebat kemudian, sepasukan massa bergerak cepat memegang spanduk itu, dan mulai menarik-narik supaya pagar dapat dirobohkan.

Beberapa orang berusaha merobohkan pagar gedung DPR RI.

Saya dan Tyas mengalihkan perhatian ke aksi tersebut. Kamera saya merekam detik demi detik aksi para demonstran yang sudah panas. Tiba-tiba, salah seorang dari mereka menegur saya, bukan melarang saya merekam, melainkan mengingatkan kartu identitas. “Hati-hati, Mas, nanti kalau polisinya maju, bisa dikirain provokator. Kartu identitasnya mana?”

Saya dan Tyas mengerti hal ini. Dengan cepat, kami mengenakan jaket almamater (saya juga mengalungkan kartu pers akumassa). Demi menghindari kerusuhan, kami memilih untuk menjauh. Kami sempat terjebak di tengah-tengah kerumunan. Untung saja ada rombongan mahasiswa yang menarik kami masuk ke dalam barisan. Secara perlahan, saya dan Tyas mundur dan memilih untuk mengambil gambar pada posisi yang cukup berjarak dari para demonstran.

Massa demonstran mulai berbuat rusuh.

Di depan kami, rombongan massa semakin kuat memukul-mukul pagar. Asap-asap hitam mengepul ke langit, umpatan-umpatan mereka menyalahkan pemerintah dan anggota DPR terdengar jelas. “Dari pagi di sini, mereka rapatnya malah ntar malem! DPR apaan tuh, pemalas!?” ujar salah seorang buruh yang duduk di sebelah saya.

Kekecewaan saya muncul seketika saat mendengar salah seorang orator, yang awalnya menyalahkan Presiden SBY karena kebijakannya yang tidak bijak, lantas menyatakan bahwa Prabowo lebih tepat menjadi pemimpin negeri ini. Saya melihat ke sekeliling, massa dengan umbul-umbul partai mulai memenuhi lapangan. Mobil-mobil dengan gambar wajah Megawati bertebaran, bendera dengan wajah Prabowo dikibar-kibarkan.

Pukul setengah lima, satu pagar besi gedung DPR jebol. Massa berhamburan ke dalam pekarangan gedung. Barisan polisi dengan tameng dan pakaian lengkap anti huru-hara berdiri membatasi gerak massa. Anehnya, saya melihat ada banyak orang duduk dengan santai di halaman rumput. Tidak ada yang bergerak lebih maju melewati barisan polisi, yang sebenarnya dengan mudah untuk dilalui. Sementara itu, massa di depan gerbang utama semakin keras memukul pagar memancing-mancing kemarahan aparat.

Suasana pasca robohnya pagar gedung DPR RI.

Saya dan Tyas kemudian mencoba masuk ke wilayah pekarangan. Jepretan demi jepretan kami lakukan untuk mengabadikan situasi pasca robohnya pagar pertama. Sesaat kemudian, seseorang yang mengaku pernah kuliah di UI, tingkat S2, menghampiri kami.

“Hati-hati, jangan kira kalian sudah aman,” ujarnya. “Yang duduk-duduk santai di sini bisa jadi intel. Kalau kalian jalan lebih jauh mendekati gedung, bisa-bisa kalian ditangkap!” jelasnya.

Memang benar, saya sendiri menyadari bahwa jaket kuning yang kami kenakan sangat mencolok. Demi menghindari hal yang tak diinginkan, dan mengingat Tyas tidak memiliki kartu identitas pers, kami berdua memutuskan untuk keluar dari pekarangan melalui pagar yang roboh.

Suasana pekarangan gedung DPR RI.

Akhirnya saya memutuskan untuk merekam aksi massa yang mulai merobohkan pagar ke dua. Namun, baru beberapa detik saya menekan tombol play, tiba-tiba sejumlah kerumunan berhamburan ke luar pekarangan melalui pagar yang sudah jebol, mungkin menghindari kejaran dari polisi. Tyas yang berada di samping saya tidak bergerak. Dengan cepat saya menariknya menjauh dari pagar, dan kami mencari posisi yang aman.

“Tenang! Tenang! Jangan ketipu, polisi tidak akan berani! Maju terus, maju! Jangan ada yang keluar! Terus masuk, robohkan lagi pagarnya!” seru salah satu orator yang lain.

Ketika massa bergerak maju lagi, kami duduk di daerah yang sedikit lengang dari kerumunan. Tyas, yang tadi sempat panik, mulai tenang dan bebas dari rasa gugup. Entah mengapa, sebuah orasi dari seorang ibu-ibu yang mengaku pernah menjadi aktivis di tahun 74, menjadi hiburan yang sedikit menenangkan. “Semuanya jangan dilawan dengan kekerasan, jangan dilawan dengan pisau! Kita korban dari Pemerintah yang tidak peduli rakyat, tetapi kita harus melawan dengan hati!” serunya. Orasinya itu lebih terkesan seperti acara talkshow di televisi karena ada orator lain yang mengajaknya berbincang dengan pengeras suara. Dari orasi-orasi mereka, kami mengetahui bahwa ibu itu lebih senang dipanggil Oma, dan mengaku sangat mengagumi Akbar Tandjung. “Hidup rakyat Indonesia! I love you full!” serunya.

“Lho, kok orasinya begitu?” saya berkata heran, sedangkan Tyas tak mampu menahan tawa.

***

DI TENGAH-TENGAH massa yang mulai rusuh itu, tepat waktu proses perobohan pagar pertama, saya sempat berbincang dengan seorang pemulung yang mengaku bernama Jupri. Dari mulutnya, saya mendengar pujian demi pujian tentang mahasiswa. “Saya senang sama abang-abang mahasiswa, sering berteman dengan teman-teman pemulung lainnya. Apalagi kalau hari udah mau deket lebaran, sering ngasih sembako!” katanya. “Abang dari Depok?”

“Iya, Pak, saya mahasiswa UI!” jawab saya.

“Saya sering lihat mahasiswa ikutan ngamen, riset, ngobrol ama mahasiswa juga, saya! Abang dari ekonomi?”

“Bukan, Pak, saya dari ilmu sosial.”

“Oh, riset juga, ya, Bang?”

“Iya, kadang-kadang ada penelitian juga kitanya, Pak!”

“Saya juga pernah ngobrol lama sama mahasiswa, di foto-foto juga,” ceritanya. “sekarang alat udah canggih, ya… semuanya satu, bisa foto, langsung ada suara. Kalau dulu, suara ya suara, foto ya foto!” dia tertawa.

“Iya, Pak, biar lebih cepat dan mudah bawanya,” kata saya.

“Ditolong, Bang ya, mudah-mudahan gak jadi naik minyaknya. Susah, kita!”

“Ya, doakan aja, Pak. Ini kita lagi usaha!” kata saya, kemudian pamit untuk kembali melanjutkan aktivitas potret memotret.

Pak Jupri.

Selain Pak Jupri, saya juga sempat ditanyai oleh seorang ibu-ibu yang berpenampilan seperti warga biasa. “Udah masuk, Nak?” tanyanya ketika pagar yang ke dua roboh.

Nggak, Bu, kami di sini ajangambil gambar!” jawab saya.

“Masuk saja! Suruh mereka itu turunkan harga minyaknya! Tidak tahu orang susah!” gerutunya. “Sudah dibuka pintunya?”

“Belum, Bu, tapi udah ada pagar yang roboh. Tapi orang-orang belum pada masuk.”

“Kenapa gak masuk! Lawan saja polisi itu!”

Saya justru bingung ingin berkata apa. Sepintas saya teringat kata salah seorang orator (bukan mahasiswa), dan mengatakannya kembali kepada ibu itu, “Ya, rencananya mau robohin pagar lagi, Bu, jadi biar lebih leluasa keluar masuknya!”

“Nah, bagus itu! Hancurkan saja, mereka bikinnya pakai uang kita!” katanya dengan nada kesal. Saya kemudian terpisah dengan ibu itu ketika massa semakin ramai mendekati pagar yang roboh.

Ibu yang berbincang dengan saya.

Pukul enam sore, saya memperhatikan daerah itu. Keadaan semakin memanas. Akan tetapi rombongan mahasiswa UI (yang saya maksudkan di sini adalah mahasiswa dari barisan BEM UI) tidak terlihat sama sekali. Beberapa wartawan membawa kamera, meliput peristiwa. Berkali-kali helikopter melintas di atas kerumunan massa. Dari posisi saya, terlihat bahwa helikopter itu mengarahkan sebuah kamera ke bawah. Saya menebak, mungkin itu adalah media yang sedang meliput, tetapi bisa jadi juga aparat yang sedang melakukan pengawasan. Pokoknya, setiap kali helikopter melintas, para demonstran bersorak-sorak dan memaki-maki, bahkan ada yang mengacungkan tangan melecehkan si helikopter.

Salah seorang demonstran memaki helikopter yang melintas.

Merasa sudah cukup dengan foto-foto yang didapat, saya dan Tyas akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan rombongan BEM UI yang masih bertahan di bagian belakang gedung DPR.

Di sana, saya bertemu Affin, Ketua BEM FISIP UI. Saya menceritakan apa yang saya saksikan di kerumunan massa yang ada di area depan gedung.

“Coba lu bayangin, pagar tuh udah roboh dua, dan gerbang juga udah dibuka. Tapi orang-orang masih mukulin pagar dengan batu, dan gak ada yang masuk!” saya bercerita dengan semangat.

“Yah, itu mah jelas banget provokasi!” Affin menanggapi. “Mereka mancing mau ricuh, nunggu polisi maju duluan!”

“Oh, iya, barisan UI kenapa pindah ke belakang, sih? Padahal di tengah-tengah kosong, lho, Fin?!”

“Anak-anak, Sob, takut kenapa-napa,” terang Affin. “Kita ke sini bukan buat rusuh, kan?! Intinya cuma negosiasi dengan pejabat.”

“Tapi, kan kehadiran UI di tengah-tengah bisa jadi poros biar gak ricuh, Bro!”

“Ya, kalo yang udah pengalaman kayak elu atau guesih gak masalah, Zik!” katanya tertawa. “Ini sebagian besar yang turun mahasiswa baru semua.”

***

PUKUL TUJUH MALAM, massa aksi UI yang perempuan diwajibkan pulang oleh BEM, mengingat situasi semakin rawan karena ternyata kericuhan di area depan semakin menjadi-jadi. Tyas tidak ikut rombongan tersebut, dan lebih memilih bertahan di lokasi. “Gue, kan bukan pendemo, gue cuma moto-moto doang!” ujarnya kepada Affin.

Bentrok aparat dengan para demonstran. Gambar diakses dari http://www.hariansumutpos.com/2012/03/30127/bbm-batal-naik-1-april.htm

Ratusan massa dipukul mundur oleh aparat dengan gas air mata. Para demonstran, sebagian ada yang bergerak menuju area belakang gedung, dan bahkan ada juga yang tehalau sampai ke daerah Slipi (menurut keterangan Beringin, salah satu jurnalis mahasiswa di FISIP yang saya kenal).

Ketika melepas lelah di salah satu warung sate, saya, Tyas dan beberapa mahasiswa lain menyaksikan liputan berita di televisi yang ada di warung, terkait situasi huru-hara di area depan. Saya pun bingung, mengapa lagi-lagi stasiun televisi yang begitu semangat memberitakan adalah TVOne. Selain itu, saya sedikit menangkap bahwa berita itu sedikit dilebih-lebihkan. Bukan hanya saya yang berpendapat demikian, teman-teman mahasiswa lain juga. Reporter TV itu tidak ada menyebutkan kemungkinan dari para provokator bayaran, lantas menggeneralisasikan bahwa pelaku kerusuhan adalah mahasiswa dan buruh.

“Ah, sial bangetnih!” ujar saya kesal. “Bayaran, tuh yang rusuh!”

Lu gak tau, kan, tadi tuh di sini ada massa bayaran,” ujar salah satu dari mahasiswa yang ada di warung. “Ditawarin baju kaos ditambah goceng perorang untuk bikin rusuh. Parah banget!” katanya geleng-geleng kepala.

Saya, secara pribadi, yakin bahwa mahasiswa yang baik, tentunya, tidak akan melakukan tindakan brutal. Buktinya, di warung itu, para mahasiswa menonton berita bersama-sama dengan para polisi yang melepas lelah di sela-sela tugas mengawasi berjalannya aksi demonstrasi. Justru saya melihat keakraban di antara dua elemen masyarakat ini.

“Keputusannya udah keluar, Fin?”

“Belum, rapatnya aja ntar jam sepuluh! Perwakilan dari kita udah masuk 20 orang!”

Sekitar pukul sembilan malam, saya mendengar kabar lagi dari teman-teman yang terus menyimak berita, bahwa massa aksi yang rusuh di area depan sudah bubar. Bisa dibilang, hanya massa aksi dari BEM UI yang masih bertahan di belakang dengan cara damai.

Massa aksi BEM UI terus menunggu, menantikan kabar dari perwakilan yang masuk ke ruang rapat paripurna. “Kita akan terus kawal hingga keluar keputusan!” ujar Affin.

***

“MENGAPA RUSUH, YA?” Tyas bertanya di sela-sela kami melepas lelah di antara mahasiswa UI yang juga melepas lelah di depan pagar area belakang. “Mengapa rapatnya malem-malem?”

“Ya, gimana dong? Pejabatnya pengen rapat kalo misalnya demo udah kelar,” saya berkomentar. “Sementara pendemo bakalan marah kalo rapatnya gak mulai-mulai. Nah, batu ketemu batu, kalau diadu, ya, jadinya pecah, sama dengan rusuh!”

Tuh, makanya, seperti kata Oma, semuanya harus dilawan dengan hati!” kata Tyas tertawa.

Menjelang pukul sepuluh, massa BEM UI yang tadinya melepas lelah, berdiri kembali membentuk barisan. Mereka berorasi lagi meskipun hari sudah malam. Mereka kemudian merapat ke pagar, dan sang orator berkeluh kesah tentang kekecewaannya terhadap ketidakonsistenan para anggota fraksi di DPR RI. Saya mendengar suara pagar dipukul lagi. Semakin lama, semakin keras dan berkali-kali.

“Kenapa, Fin?”

“Fraksi yang awalnya menolak, sekarang pada walk outGak jelas banget!” jelas Affin.

Ha?! Apaan?!” saya mengepalkan tangan saking kesalnya, dan saya juga merasa maklum ketika beberapa orang anggota massa aksi BEM UI juga emosi. Bagaimana tidak? Walk out sama saja dengan lepas tangan, menolak tetapi tidak memberi tekanan. “Jadi mereka membiarkan kalau Pemerintah tetap menaikkan BBM, tapi gak tanggung jawab kalau terjadi apa-apa!” jelas Affin. “Itu sama saja dengan setuju, kan?”

Massa aksi dari BEM UI yang mulai emosi ini memancing para polisi untuk bersiaga secara lebih ketat. Saya melihat Affin dan para pemimpin massa lainnya berbincang dengan para polisi. Saya juga melihat bahwa ada beberapa orang muda-muda mengenakan baju bebas sudah mulai mengitari massa aksi BEM UI. Kecurigaan saya kemudian muncul, jangan-jangan mereka penyusup yang ingin mencari celah untuk memancing kerusuhan.

Akhirnya, berdasarkan pertimbangan untuk ketertiban dan keamanan, massa aksi BEM UI memutuskan untuk bergerak menjauhi gedung DPR, menuju pintu Barat Senayan, menunggu bus Kopaja untuk pulang. Sekitar pukul sebelas, semua massa aksi BEM UI, termasuk saya dan Tyas, pulang ke Depok, sedangkan Affin dan beberapa aktivis mahasiswa lainnya tetap di lokasi mengawal persidangan.

***

Kericuhan di dalam ruang rapat DPR RI. Gambar diakses dari http://foto.detik.com/

DI KAMPUS UI, Depok, beberapa saat setelah turun dari bus Kopaja, saya mendengar kabar lanjutan bahwa perwakilan mahasiswa UI yang masuk ke dalam ruangan rapat melakukan tindakan ricuh lagi. Mereka terlibat keributan dengan aparat Pamdal DPR RI. Saya tidak bisa meng-update berita. Akan tetapi berdasarkan keterangan dari teman-teman yang menonton televisi, emosi mahasiswa itu terpancing karena persoalan ayat sisipan yang ditambahkan pada pasal 7 dalam UU Nomor 22 Tahun 2011. Sebagaimana diberitakan oleh antaranews.com keesokan harinya, sejumlah partai dalam rapat Badan Anggaran mengusulkan adanya ayat baru, yakni pada Pasal 7 ayat 6 (a) yang memberikan diskresi kepada pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM jika rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP) selama enam bulan mengalami kenaikan atau penurunan sebesar lebih dari lima belas persen.

Lha, itu sama aja dengan meng-iya-kan kenaikan BBM!” ujar saya setelah mendengar cerita dari Ian, yang terus menyimak berita di TV.

***

LANTAS, APA YANG yang dapat saya simpulkan dari cerita ini? Setidaknya, beberapa asumsi saya di awal itu sedikit mengandung ketepatan. Berdasarkan percakapan saya dengan Pak Jupri dan seorang ibu-ibu di tengah-tengah demonstrasi, ternyata kenaikan harga BBM memang masih belum dapat diterima oleh warga masyarakat. PR untuk Pemerintah ialah mencari jalan lain yang lebih bijak ketimbang mengorbankan hal penting bagi rakyat. Seperti yang berkali-kali dilontarkan oleh para orator saat berdemonstrasi, “Uang sejumlah 150 ribu bukanlah solusi! Itu solusi asal jadi!”

Langkah para anggota Fraksi yang menolak BBM, jika saya cermati lagi, ternyata hanya lah langkah politis. Apakah mungkin untuk menarik simpati rakyat? Toh ternyata, seperti yang dimuat dalam investor.co.id pada tanggal 30 Maret 2012, pukul 19:13, enam fraksi di DPR (Golkar, PAN, PKS, PPP, PKB dan Partai Demokrat) mendukung penambahan ayat 6 (a) ke dalam Pasal 7 UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Seperti yang disampaikan Burhanudin Muhtadi, peneliti dari Lembaga Survei Indonesia, yang kemudian dikutip oleh situs yang sama, dukungan ini memberi ruang bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM dengan penambahan ayat dalam RUU APBNP 2012. “Dengan opsi itu maka kenaikan tinggal tunggu waktu saja. Mereka sadar isu BBM tidak populer. Mereka seolah-olah menolak tapi memberi tiket institusional kepada pemerintah untuk menaikan harga BBM. Jadi ini untuk kepentingan elektoral dan pencitraan saja,” pungkas Burhanuddin, yang juga dimuat dalam Suara Pembaruan (lihat di http://www.investor.co.id/national/6-fraksi-dukung-kenaikan-bbm/33072).

Kemudian, tentang demonstrasi yang berujung kerusuhan? Hal ini tidak bisa dilihat secara subjektif atau sepihak. Pada kenyataannya, saya menyaksikan sendiri bahwa kerusuhan pada demo tanggal 30 Maret 2012 itu dipicu oleh orang-orang yang ditunggangi. Kalau pun memang ada dari kalangan mahasiswa, ini menjadi bahasan yang lebih menarik. Akan tetapi saya tergelitik untuk berpikir kembali ketika membaca sebuah komentar pada foto demonstrasi yang diunggah oleh sebuah akun di facebook. Komentar yang ditulis oleh akun bernama Pramilla Deva Ellesandra, itu berbunyi seperti ini:

“…Simpel buat saya, ketika ada histeria massa dan orang-orang turun ke jalan, semuanya sudah tidak bisa dikendalikan dan diprediksi. Serba spontan. Orang yang menolak kebijakan itu sama kayak orang yang menerima kebijakan. Masing-masing punya aksi sendiri. Minta pendemo supaya nggak merusak, itu sama aja kok sama minta pemerintah untuk nggak menaikkan BBM. Cuma bisa berharap, tapi aksinya tetep nggak bisa dikontrol penuh. Bedanya mungkin kalau: pendemo bisa saja dipukul mundur barikade polisi dengan gas air mata atau peluru karet, sedangkan pemerintah tetep punya kuasa absolut untuk menaikkan atau membatalkan kenaikan BBM apapun yang terjadi (alias tidak tersentuh).

Metode “pemaksaan”nya mungkin berbeda di: pendemo ‘mendesak’ pemerintah menganulir kebijakan dengan membuat momentum berupa kerusuhan atau keributan yang berdampak fatal, dan pemerintah mendesak rakyat untuk menerima saja BBM dinaikkan dengan cara…apa saja, berbagai cara. Kan mereka berkuasa 

Btw, ada yg bisa jelasin “demo dengan cara yg mulia” itu gimana ya?

Gue bingung, deh,” keluh salah seorang mahasiswi, yang saya tak tahu namanya, di malam hari sesaat setelah demonstrasi. “Kenapa TV cuma memberitakan yang rusuh-rusuhnya aja? Terus, tuh partai-partai juga gak jelas, plin-plan banget?!”

Entah mendapat ilham dari mana, saya lantas menanggapi, “Kan, kita bisa membaca dari situ. Massa aksi sudah berorasi sejak pagi, dan itu memang sudah ‘panas’ dari awal. Tapi gue liat sendiri kok, yang mulai rusuh-rusuh itu baru datang sekitar jam empat, baru mulai bakar-bakar. Wartawan TV juga mulai rame jam-jam segitu. Saatnya sajian primetime. Kerusuhan dimulai, terus diliput, deh secara liveLu pada nonton berita di mana? Kita semua tahu, stasiun TV yang kita tonton itu milik siapa?!”

Kami semua diam, diam dengan arti menyadari memang begitulah carut-marut yang sedang terjadi di negeri ini. Bahkan Pemerintah dan para petinggi di DPR RI pun seolah-olah bisa bertingkah dengan menghadirkan ‘April Mop’ untuk rakyatnya sendiri. Setelah senang mengumbar-umbar wacana kenaikan harga BBM, kemudian memberi sepercik harapan dengan pernyataan-pernyataan menolak, kemudian malah memberi kebingungan dengan penambahan aturan dalam UU. Bulan April, mungkin, memang tidak akan menjadi bulan naiknya harga BBM, tetapi siapa bisa menduga sekitar enam bulan lagi?

Harapan saya, semoga saja media arus utama dapat sadar diri untuk tidak memberikan keresahan yang berlebihan kepada warga masyarakat. Kalau tidak, jangan salahkan yang muda-muda membuat kerusuhan.

***

1 thought on “Catatan Seorang Bukan Demonstran

  1. Pingback: Kumpulan Artikel akumassa | manshurzikri

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.